Translate

Minggu, 17 Januari 2016

MAKALAH KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM UUPA (Iphoelbuamona)


KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM UUPA





BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah

Hukum adat, karena sifatnya yang tidak tertulis, bersifat majemuk antara lingkungan masyarakat satu dan masyarakat lainnya.Oleh karena itu, perlu dikaji perkembangannya apakah hukum adat tersebut masih hidup, apakah sudah berubah, dan kearah mana perubahan tersebut.
Hukum adat mengenai tanah adat yang ada di Indonesia sekarang ini sudah hampir habis, dimana terdapat banyak sekali perusakan hutan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab.
Mengenai tanah adat terdapat beberapa aspek yang sudah saat ini harus mendapat persetujuan dari pemerintah untuk dinya
takan sebagai pemegang hak atas tanah adat tersebut.
Secara formal, kewenangan pemerintah untuk mengatur sebidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sedangkan secara substansial, kewenangan Pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan terutama dalam hal lalu lintas hukum dan pemanfaatan tanah, didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni dalam hal kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan perubuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.[1]
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, yang mana semua hal mengenai adat tidak ditulis seperti halnya dengan tanah yang berada pada masyarakat adat.Dimana kepemilikan atas tanah hanya diperoleh dari pengakuan dari masyarakat setempat atau dari kepala adat. Atau dengan cara lain yaitu siapa yang lebih lama menempati tanah tersebut maka secara otomatis tanah tersebut menjadi hak milik dari orang yang menempati tanah tersebut tanpa harus di daftarkan.
Seiring perkembangan jaman tanah adat yang terdapat pada masyarakat adat setempat harus mendapatkan pengakuan dari pemerintah mengenai hal kepemilikan tanah tersebut.Ini berarti secara otomatis tanah yang menjadi tanah adat tersebut tidak mempunyai kekeuatan hukum lagi.Dan hukum adat yang mengatur mengenai kepemilikan tanah tersebut di pertanyakan atas kekuatan hukumnya.
Dimanakah sekarang hukum adat berada.Masih berkembangkah hukum adat tersebut ataukah sudah mati.Ini adalah petanyaan mendasar untuk mengetahui keberadaan hukum adat suatu masyarakat adat.
Hukum mengenai pertanahan yang ada di Indonesia sudah mempunyai hukum sendiri yakni hukum mengenai tanah telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.Dimana semua hal mengenai tanah dan pendaftaran tanah di atur dalam undang-undang ini.
Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Soekarno pada tanggal 24 September  tahun 1960 merupakan undang undang tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau dengan sebutan yang lebih di kenal yaitu UUPA.
Semua mengenai tanah Adat di Indonesia harus sudah di daftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mendapatkan sertifikat hak kepemilikan tanah. Berbeda dengan zaman dahulu, hak kepemilikan sebidang tanah tidak perlu di daftarkan kepada BPN atau kepala adat, akan tetapi hanya dengan di beri patok kepada sebidang tanah tersebut dan langsung mendapatkan pengakuan dari masyarakat adat setempat.
Selain itu ada yang namanya tanah ulayat, dimana tanaha ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hokum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu.Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hokum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Hak ulayat yang dialui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan Negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang  dan peraturan-peraturan lainnya.
Dalam rangka pelaksanaan hukum tanah nasional di samping tuntutan masyarakat adat, maka pada tanggal 24 juni 1999, telah di terbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan tersebut dimaksudkan sebagai produk dalam memberikan pedoman dalam rangka pengaturan dan pengambilan kebijakan operasional bidang pertanahan, serta langka-langkah dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan tersebut memuat kebijakan yang yang menjelaskan prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat “ sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijakan tersebut meliputi :
Ø  Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (pasal 1)
Ø  Criteria dan penentuan masih eksisnya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (pasal 2 dan 5).
Ø  Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

B.                 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas maka dapat di tarik mengenai masalah yang di bahas adalah:
a.       Bagaimanakah kedudukan tanah adat dalam perundang-undangan ?
b.      Bagaimanakah system hak-hak penguasaan atas tanah?





BAB II
PEMBAHASAN

A.                Kedudukan tanah adat dalam perundang-undangan
Hukum adat merupakan suatu hukum yang tidak tertulis.Hukum adat berasal dari suatu kebiasaan masyarakat setempat yang di lakukan secara terus menerus dan kemudian di jadikan sebagai adat istiadat.
Dalam perundang-undangan nomenklatur hukum adat tidak asing lagi ia dapat ditemukan dalam berbagai perundang-undangan, seperti yang tercantum dalam A.B (Algemene Bepalingen van Wetgeving = “Ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan”) Pasal 11 yang menggunakan istilah: “Godsdienstige Wetten, Volksinstelling en Engenbruiken” (Peraturan-peraturan, lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan-kebiasaan).[2]
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut system hukum adat.
Meskipun didalam Pasal 3 UUPA terdapat istilah “Hk ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu,”, namun pada dasarnya keberadaan UUPA tidak secara terperinci mendefinisikan apa yang di maksud dengan tanah ulayat.. sebagaiman yang dikemukan oleh Van Vollenhoven bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikingstrecht, menggambarkan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya tersebut.[3]
Definisi tanah ulayat dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah sebidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Adapun, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tingal ataupun atas dasar keturunan.[4]
Bertitik tolak dari dua system hukum menurut cara pandang yang konvensional, yaitu system hukum adat dan system hukum nasional. Hal ini disebabkan oleh karena dua lembaga hukum masyarakat (persekutuan) hukum adat (adatrechtsgeneenschap) dan hak kolektif masyarakat (persekutuan) hukum atas tanah (beschikkingsrecht) yang dimasahkan merupakan lembaga hukum menurut system hukum nasional. Kedua lembaga ini berkaitan dengan hukum pertanahan yang sejak tahun 1960 telah diundangkan dalam undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan prosduk hukum nasional, dan oleh karena itu termasuk kedalam system hukum nasional. Dengan siundangkannya UUPA dan merupakan bagian dari system hukum nasional.[5]
Fungsi hukum adat sebagai sumber utama dalam membangun hukum tanah nasional nilah yang dimaksudkan dalam konsiderans/berpendapat UUPA, bahwa hukum tanah nasional berdasarkan atas hukum adat. Konsep yang mendasar hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum adat, yaitu konsepsi yang :komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan atas tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsure kebersamaan.[6]
Kalau dalam hukum adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para wagra masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dalam rangka hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religious dari konsepsi ini ditunjukkan oleh pernyataan, bahwa Bumi, air, ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional tersiri atas beberapa sumber hukum, yaitu:
a.       Sumber-sumber hukum yang tertulis:
·         UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3)
·         UUPA (Undang-Undang 5/1960,
·         Peraturan-peraturan pelaksana UUPA,
·         Peraturan-peratran yang bukan merupakan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 September 1960 karena suatu masalah perlu diatur (misalnya, Undang-Undang 51/Prp/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, LN 1960- 158, TLN 2160), dan
·         Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku, berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan. (ini merpakan bagian hukum tanah positif, bukan bagian hukum tanah nasional).
b.      Sumber-sumber yang tidak tertulis:
·         Norma hukum adat yang sudah di “saneer”menurut ketentuan Pasal 5, 56, dan 58,
·         Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik administrasi.
Hak purba perseutuan hukum diakui dengan tegas dalam UUPA (UU No. 5 /1960.LN 1960/104). Dalam pasal 3 dinyatakan:
“dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1+2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurutkenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentanggan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum( lain yang lebih tinggi”.[7]
Sejak kemerdekaan, perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.Perbedaan panfangan tersebut bukanlah hal baru arena telah terjadi sejak masa dahulu. Frekwensi perselisihan semakin meningkat sehubungan dengan pertumbuhan penduduk , sementara tanah relative tetap terbatas luasnya.
Sebagai akibatnya, terkadi perselisihan antara pemilik perkebunan dan para petani. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960-104, TLN. 2043) atau lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sebagai warisan hukum tanah pada zaman Hindia Belanda, hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme.
Setelah berlakunya UUPA, sifat dualism hukum tanah itu diganti dengan unifikasi hukum tanah, artinya menberlakukan satu macam hukum tanah, yaitu hukum tanah nasional.Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.Kesatuan hukum tanah artinya memberlakukan satu macam hukum tanah (unifikasi hukum) untuk semua tanah yang ada di wilayah Indonesia.[8]
Dalam perkembangan hukum tanah nasional terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum tanah adat di Indonesia.Hukum adat sebagai dasar dalam pembuatan hukum tanah nasional. Bahwa hukm adat di pakai sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah sesuai dengan kepribadian bangsa kita, karena Hukum adar adlah hukum asli kita. Dalam pada itu, sebagaimana kita ketahui dari uraian nomor 22 E, Hukum Adat tersebut masih harus dibersihkan dari cacatnya yang tidak asli dan kemudian di sempurnakan hingga sesuai dengan tuntutan zaman.

B.                 Hukum Adat dalam UUPA
Bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah, dinyatakan dalam Konsiderans/Berpendapat UUPA.
Pernyataan mengenai Hukum adat dalam UUPA kita jumpai juga dalam:
a.       Penjelasan Umum angka III (1);
b.      Pasal 5;
c.       Penjelasan Pasal 5;
d.      Penjelasan Pasal 16;
e.       Pasal 56 dan secara tidak langsung juga dalam
f.       Pasal 58



C.                System hak-hak penguasaan atas tanah
Dalam Hukum adat, hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak Ulayat, yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik.Subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik territorial maupun geneologik, sebagai bentuk bersama para warganya.Tanah ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.[9]
Dibawah hak ulayat adalah hak Kepala adat dan para tetua adat, yang sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah bersama tersebut.Tugas kewenangan ini beraspek hukum public semata.
Kemudian ada berbagai hak atas tanah yang dikuasai oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat, sebaga hak bersama.
Dengan demikian, tata susunan dan hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Adat adalah sebaga berikut:
1.      Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum public;
2.      Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang bersumber pada Hak Ulayat dan beraspek hukum public semata;
3.      Hak-hak atas Tanah, sebagai hak-hak individual, yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat danberaspek hukum keperdataan.[10]
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat 2 di jesebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada (eksis) apabila memenuhi tiga syarat :
1.      Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari hari.
2.      Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidup sehari hari.
3.      Terdapat tatanan hidup adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan hukum tersebut.
Dari beberapa uraian diatas, dapat dikatakan bahwa Hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat yang pada hakikatnya merupakan kewenangan yang di miliki oleh oleh masyarakat hukum adar tertentu atas suatu wilayah tertentu untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut demi kelangsungan hidup dan kehidupan yang secara khas timbul dari hubungan secara lahiriyah dan batiniah, turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dan wilayahnya.[11]


BAB III
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Dengan berkembangnnya zaman sekarang ini tanah di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat vital, dimana semua orang membutuhkan lahan untuk dijadikan sebagai perkebunan dan sebagai lahan untuk tempat mereka tinggal.
Dari uraian diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa:
1.      Hukum adat yang berlaku di Indonesia masih berlaku di beberapa daerah di Indonesia, dan hamper di seluruh Indonesia. Hukum adat yang menyangkut mengenai tanah sudah di buat dalam satu peraturan yang tertulis oleh pemerintah agar tidak terjadi dualism dalam hal pemyelesaian sengketa tanah. Tanah adat di Indonesia sudah di undangkan dalam peraturan baru yaitu Undang –undang Pokok Angraria aau yang di kenal dengan UUPA. Dalam pembentukan undang undang ini hukum adat merupakan sumber utama dalam perumusan UUPA. Hukum adat masih di akui dalam peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia.
2.      Hak penguasaan atas tanah tetap berlaku dimana harus terdapat beberapa hal yang di atur dalam peraturan menteri agrarian dimana harus tetap ada sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh hukum adat yang ada di wilayahnya.

B.     Saran
1.      Hukum adat yang ada di Indonesia harus tetap ada dan eksis walaupun zaman semakin berkembang, karna hukum adat merupakan jati diri dari bangsa Indonesia. Hukum adat harus dijadikan sebagai rujukan dalam pembuatan hukum yang ada di Indonesia, karena hukum adat sesuai dengan jadi diri bangsa Indonesia.
2.      Kebijakan pemerintah tidak boleh melarang akan hak hak dari masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah yang ada di Indonesia, dimana masih terdapat hutan adat yang merupakan wilayah dari masyarakat hukum adat.









DAFTAR PUSTAKA

Buku

Boedi harsono, 2008, hukum agrarian Indonesia, Jakarta, djambatan.
Dewi Sulastri, 2015, Pengantar Hukum Adat, Bandung, Pustaka Setia.
Suriyaman mustari pide, 2007, hukum adat, Jakarta, kencana.
Yamin Lubis, Rahim Lubis, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung, Mandar Maju,



[1]Yamin Lubis, Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Mandar Maju, Bandung, 2012), hlm. 1
[2] Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, kini dan akan dating, (Kencana, Jakarta: 2014) hlm.75
[3]Ibid, hlm,119-120
[4]Ibid, hlm, 121
[5]Ibid, hlm.137
[6]Ibid, hlm. 138
[7] Dewi Silastri, Pengantar Hukum Adat,(Pustaka Setia, Bandung: 2015), hlm.100-101
[8]Ibid, hlm. 109-110
[9][9] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Djambatan, Jakarta: 2008 ) hlm. 183
[10]Ibid.
[11]Loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar