MAKALAH
VIKTIMOLOGI
PERANAN SERTA PELAYANAN TERHADAP
KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM PIDANA
Oleh:
Nama :SAIFUL BUAMONA
N.P.M :140 5 000258
DOSEN
H.
EDY TARSONO, S.H.,MH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM
ATTAHITIYAH
PROGTAM STUDI ILMU HUKUM
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara semakin berkembang dan
membuat orang semakin jauh dari nilai nilai keislaman dan
http://iphoelbuamona.blogspot.co.idnilai nilai yang
berhubungan dengan norma norma serta hak hak dari setiap orang. Perkembangan
jaman membuat perubahan besar dalam kehidupan yang mana terjadi pergeseran
nilai moral dan tingkah laku masyarakat yang semakin buruk.
Dalam kehidupan bermasyarakat tidak
lepas dari interaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dalam interaksi
tersebut tidak lepas dari hal hal yang negative yang mana merugikan salah satu
pihak yang mana merupakan suatu tindak pidana, dan dalam hal tersebut membuat
salah satu di antara mereka menjadi korban.
Korban kejahatan merupakan orang
yang mana mengalami suatu tindakan yang merugikan dari orang yang tidak
bertanggung jawab, dalam hal ini korban. Korban berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan diri, alias orang yang sangat dirugikan.
Dalam hal ini korban kejahatan
mempunyai peran penting dalam hal menanggulangi atau mengurangi tindak pidana
kejahatan selanjutnya. Selain itu juga peranan dati penegak hukum juga sangat
penting dalam hal menanggulangi terjadinya korban kejahatan selanjutnya.
Dengan adanya peran yang penting
dari para korban kejahatan dan penegak hukum membuktikan bahwa pemerintah dalam
hal ini akan membantuntu memberantas kejahatan tersebut. Salah satu tindakan
lanjutan dari pemerintah adalah mengadili para pelaku tindak kejahatan adalah
dalam hal melakukan proses peradilan.
Keberhasilan dari proses peradilan
pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil di ungkap atau di
temukan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak
terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.[1]
Kasus –kasus yang tidak terungkap
dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut
memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak
tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap
tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau
menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi
dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.[2]
Maka peran dari korban sangat di
butuhkan dalam hal mengurangi terjadinya korban berikutnya. Dengan adanya peran
dari korban maka akan membantu para penegak hukum dalam mengungkapkan kejahatan
yang terjadi.
Akan tetapi kedudukan korban dalam sistem
peradilan pidana maupun hukum praktik peradilan relatif kurang diperhatikan
karena ketentuan hukum indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied).[3]
Ini yang membuat korban kejahatan
tidak mendapatkan keuntungan dan membuat banyak kasusu-kasus yang tidak terungkap
ke publik. Ketika hal ini terus di biarkan maka, korban kejahatan akan semakin
banyak dan akan membuat resah dalam masyarakat, serta mengganggu ketertiban dan
keamanan setiap individu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka
penulis mengambil pokok bahasan yang mengenai dengan viktimologi atau korban
yang mana menjadi pembahasan dalam makalah ini. Pokok masalahnya adalah:
- Bagaimana
Hak- hak dan kewajiban dari korban kejahatan serta perannya?
- Bagaimanakah
Pelayanan terhadap korban kejahatan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Korban
Menurut
undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga.
Korban merupakan orang yang di
rugikan dalam hal ini, selain itu korban selalu mengalami kondisi yang sering
menimbulkan ketidakpuasan salam penyelesaian perkara pidana.
Korban menurut Arif Gosita, hanya
difungsikan /dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja. Disamping itu, dengan
semakin meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana, yaitu melalui berbagai bentuk
perumusan kebijakan, sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan
dengan pemenuhan kepantingan korban secara langsung, sehingga dengan demikian,
tidak mengherankan apabila perhatian terhadap korban semakin jauh dari
peradilan pidana.[4]
B.
Hak
dan kewajiban korban
Hak-
hak korban pada prinsipnya merupakan bagian tak terpisahkan dari HAM, karena hak-hak
korban terdapat jelas dalam instrumen hukum Internasional HAM, yang menyediakan
hak-hak korban secara langsung maupun tidak langsung.
- Hak Korban
Pada Pasal 5
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 mengatur hak-hak korban (dan juga saksi)
sebagai berikut:
- Memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau
telah diberikan.
- Ikut
serta dalam proses memlih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan.
- Memberikan
keterangan tanpa tekanan.
- Mendapat
penerjemah.
- Bebas
dari pertanyaan menjerat.
- Mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus.
- Mendapat
informasi mengenai putusan pengadilan.
- Mengetahui
dalam hal terpidana dibebaskan.
- Mendapat
identitas baru.
- Mendapat
tempat kediaman baru.
- Memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
- Mendapat
nasehat hukum.
Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan, bahwa hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan diberikan untuk/dalam
kasus-kasus tertentu sesuai keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban.
- Kewajiban Korban
Selain hak,
korban juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:
- Tidak
main hakim sendiri
- Berpartisipasi
dengan masyarakat mencegah perbuatan dan korban lebih banyak lagi
- Mencegah
kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri atau oleh orang lain
- Ikut
serta membina pembuat korban
- Bersedia
di bina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
- Tidak
menuntuk kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan I pembuat korban
- Memberi
kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban
sesuai dengan kemampuannya.
- Menjadi
saksi apabila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.
C.
Peran
korban
Dengan
menjadi korban tidak semata-mata selesai perkara. Dalam arti korban juga
mempunyai peran penting dalam hal ini. Dengan demikian jelaslah bahwa korban
mempunyai peranan penting dalam hal timbulnya suatu kejahatan.
Sahetapy
menyatakan, bahwa masalah kasus kejahatan merupakan masalah yang menarik, baik
sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan
seperti dewasa ini. Salah satu kendala atau hambatan itu adalah prilaku
individu atau sekelompok individu yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat, baik norma yang tidak tertulis seperti norma kesusilaan,
kwsopanan, adat istiadat, agama maupun dalam konteks ini terutama norma hukum
pidana yang sifatnya tertulis yang oleh masyarakat disebut sebagai kejahatan.[5]
Korban tidak hanya merupakan sebab
dan dasar proses terjadinya kriminalitas, akan tetapi memainkan peranan penting
dalam usaha mencari kebenaran material yang di kehendaki hukum pidana materiel.
Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak
pidana, baik dalam keadaan sadar atupun tidak sadar, secara langsung atupun
tidak langsung.[6]
Dengan demikian jelaslah, bahwa
korban juga mempunyai peranan penting dalam timbulnya suatu kejahatan. Peran korban dalam mempengaruhi terjadinya
kejahatan dapat berupa pertisipasi aktif maupun pasif, dapat berperan dalam
keadaan sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung,
semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut
terjadi. Situasi dan kondisi pihak korban dapat mendorong pelaku untuk
melakukan suatu kejahatan terhadap korban. Situasi tersebut bisa berupa:
- Fisik
korban yang lemah serta mental yang lemah pula.
- Situasi
sosial pihak korban.
Pihak
korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan berbagai
macam peranan yang dibatasi situasi dan kondisi tertentu. Dalam kenyataan,
tidak mudah membedakan secara tajam setiap peranan yang dimainkan pihak korban.
Situasi
dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu
kejahatan terhadap pihal lorban. Pihak korban sendiri dapat tidak melakukan
suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela untuk menjadi korban.
D.
Pelayanan
terhadap korban
Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
pada Pasal 13 jelas di katakan bahwa untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap
korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas
masing-masing dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan
ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian.
b. Penyediaan
aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbingan rohani.
c. Pembuatan
dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d. Memberikan
perlindungan bagi pndamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Kesadaran
untuk memberikan dukungan dan perlindungan pada korban kejahatan sedikit banyak
telah ada pada berbagai negara di Eropa. Beragam upaya penanganan kasus
kejahatan yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana setempat telah menuju
pada proses yang menempatkan korban kejahatan sebagai perhatian utama. Hal ini
semakindibuktikan dengan adanya agen-agen resmi yang ssecara khusus bertugas
memberikan support dan assistance pada para korban kejahatan,
seperti halnya Victim Supporrt.
Pemberian dukungan terhadap korban
memiliki beberapa dimensi yang terdiri dari penyedia jasa atau layanan (service), Advokasi, masyarakat dan antar
lembaga kerja.
Dalam
KUHP yang baru di tentukan adanya pelayanan ganti rugi. Dalam rangka
pelaksanannya yang mantap diperlukan adanya dasar-dasar pemikiran yang
mendukung pelayanan terhadap para korban kejahatan.
Pelayanan
terhadap korban kejahtan pada hakekatnya merupakan pula suatu usaha
kesejahteraan sosial yang pelaksanaannya harus sebanyak mungkin diikuti oleh
setiap anggota masyarakat. Semangat gotong-royong, kesediaan untuk berkorban,
berzakat fitrah di masyarakat kita sebetulnya jika di kembangkan dan diamalkan
dapat pula merupakan faktor pendukung dilayaninya para korban kejahatan.
Pelayanan pada dasarnya dilakukan
oleh para pekerja sosial dan orientasinya kepada pekerja sosial. Pelayanan ini
tidak boleh dibatasi oleh kriteria ras, jenis kelamin, umur, macam kejahatan
misalnya, tetapi harus lebih didasarkan pada sifat dan beratnya penderitaan,
kerugian.
Salah satu tahap pemberi layanan
pada korban adalah tahap konseptualisasi, yang meliputi masalah perumusan
permasalahan, pembahasan mengenai keperluan-keperluan dan pandangan umum
mengenai apa yang harus di kerjakan untuk memperbaiki permasalahan korban.
Kebanyakan macam program pelayanan
korban ini di golongkan menurut organisasi pemrakarsanya, seperti kepolisian,
kejaksaan dan lain-lain. Ada yang bebas, tanpa organisasi, memberikan bantuan
secara informal atas dasar Ad hoc, untuk suatu peristiwa tertentu oleh mereka
yang sudah mempunyai jabatan resmi dalam suatu sistem peradilan pidana.
Pelayanan sukarela untuk korban
kejahatan adalah suatu fenomena yang unik, karena keterlibatannya dengan sistem
peradilan pidana dan kliennya yaitu pihak korban, sehingga saat ini diabaikan.
Perbedaan utama dengan tenaga sukarela lainnya, adalah bahwa tidak diterimanya
bayaran oleh para tenaga sukarela dalam melaksanakan tugasnya memberikan
peayanan terhadap korban kejahatan.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan dan
Saran
- Kesimpulan
a. Hak-hak
korban serta kewajiban korban kejahatan sudah di berikan dan di atur dalam
pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Selain hak, korban juga mempunyai
kewajiban yang harus dipenuhi seperti tidak main hakim sendiri, membina pembuat
korban, tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dan lain lain. Kemudian
perannya korban disini sangat penting dimana korban berperan aktif maupun pasif
dalam hal terjadinya kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional, serta
kondisi korban yang terlalu menonjol yang mana merangsang para pihak untuk
melakukan kejahatan dan yang terakhr adalah lemahnya fisik serta mental dari
pada korban itu sendiri.
b. Pelayanan
terhadap korban kejahatan itu antara lain telah dilakukan di negara negara
maju. Pelayanan korban dilakukan oleh para pekerja sosial, serta pemberian
dukungan kepada para korban. Selain itu telah ditentukan dalam KUHAP bahwa
adanya pelayanan ganti rugi.
- Saran
a. Setiap
individu seharusnya menghargai hak-hak para masyarakat lain dan masyarakat lain
juga harus melaksanakan kewajiban yang sudah di tentukan agar tidak adanya
saling melanggar hak asasi masing masing.
Selain itu para korban harus sadar akan lingkungan
sekitar yang mana rawan akan kejahatan yang sering terjadi. Seharusnya para
korban mengantisipasi hal hal yang tidak di inginkan, dan tidak melakukan
tindakan yang mendorong orang lain untuk membuat kita menjadi korban.
b. Pelayanan
terhadap para korban kejahatan harus di tingkatkan lagi, agar para korban
selalu merasa tenang ketika selesai mengalami musibah. Dan sarana prasarana
pelayanan publik harus di perbaiki agar lebih memadai lagi.
[1]
H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimologi, (Lentera Hukum indonesia, Jakarta: 2014) hlm.
21-22. (buku I)
[2]
Ibid,
[3]
H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimologi, (Lentera Hukum Indonesia: Jakarta, 2014), hlm. 27 (buku II)
[4]
Op.cit, hlm 32.
[5]
H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam
Perspektif Viktimologi, (Lentera hukum Indonesia, jakarta, 2014) hlm 33. (buku I)
[6]
Ibid, hlm, 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar