Translate

Rabu, 06 Januari 2016

Pelayanan dan Peranan korban kejahatan. (Iphoelbuamona)



MAKALAH VIKTIMOLOGI


PERANAN SERTA PELAYANAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM PIDANA

Oleh:
Nama     :SAIFUL BUAMONA
N.P.M     :140 5 000258

DOSEN
H. EDY TARSONO, S.H.,MH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM ATTAHITIYAH
PROGTAM STUDI ILMU HUKUM
2016







BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara semakin berkembang dan membuat orang semakin jauh dari nilai nilai keislaman dan
http://iphoelbuamona.blogspot.co.idnilai nilai yang berhubungan dengan norma norma serta hak hak dari setiap orang. Perkembangan jaman membuat perubahan besar dalam kehidupan yang mana terjadi pergeseran nilai moral dan tingkah laku masyarakat yang semakin buruk.
            Dalam kehidupan bermasyarakat tidak lepas dari interaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dalam interaksi tersebut tidak lepas dari hal hal yang negative yang mana merugikan salah satu pihak yang mana merupakan suatu tindak pidana, dan dalam hal tersebut membuat salah satu di antara mereka menjadi korban.
Korban kejahatan merupakan orang yang mana mengalami suatu tindakan yang merugikan dari orang yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini korban. Korban berada dalam posisi yang tidak menguntungkan diri, alias orang yang sangat dirugikan.
Dalam hal ini korban kejahatan mempunyai peran penting dalam hal menanggulangi atau mengurangi tindak pidana kejahatan selanjutnya. Selain itu juga peranan dati penegak hukum juga sangat penting dalam hal menanggulangi terjadinya korban kejahatan selanjutnya.
Dengan adanya peran yang penting dari para korban kejahatan dan penegak hukum membuktikan bahwa pemerintah dalam hal ini akan membantuntu memberantas kejahatan tersebut. Salah satu tindakan lanjutan dari pemerintah adalah mengadili para pelaku tindak kejahatan adalah dalam hal melakukan proses peradilan.
Keberhasilan dari proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil di ungkap atau di temukan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.[1]
            Kasus –kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.[2]
            Maka peran dari korban sangat di butuhkan dalam hal mengurangi terjadinya korban berikutnya. Dengan adanya peran dari korban maka akan membantu para penegak hukum dalam mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
 Akan tetapi kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun hukum praktik peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied).[3]
            Ini yang membuat korban kejahatan tidak mendapatkan keuntungan dan membuat banyak kasusu-kasus yang tidak terungkap ke publik. Ketika hal ini terus di biarkan maka, korban kejahatan akan semakin banyak dan akan membuat resah dalam masyarakat, serta mengganggu ketertiban dan keamanan setiap individu.

B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas maka penulis mengambil pokok bahasan yang mengenai dengan viktimologi atau korban yang mana menjadi pembahasan dalam makalah ini. Pokok masalahnya adalah:
  1. Bagaimana Hak- hak dan kewajiban dari korban kejahatan serta perannya?
  2. Bagaimanakah Pelayanan terhadap korban kejahatan?






BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Korban
Menurut undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
            Korban merupakan orang yang di rugikan dalam hal ini, selain itu korban selalu mengalami kondisi yang sering menimbulkan ketidakpuasan salam penyelesaian perkara pidana.      
            Korban menurut Arif Gosita, hanya difungsikan /dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja. Disamping itu, dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pembinaan  narapidana, yaitu melalui berbagai bentuk perumusan kebijakan, sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepantingan korban secara langsung, sehingga dengan demikian, tidak mengherankan apabila perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan pidana.[4]



B.                 Hak dan kewajiban korban
Hak- hak korban pada prinsipnya merupakan bagian tak terpisahkan dari HAM, karena hak-hak korban terdapat jelas dalam instrumen hukum Internasional HAM, yang menyediakan hak-hak korban secara langsung maupun tidak langsung.

  1. Hak Korban
Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 mengatur hak-hak korban (dan juga saksi) sebagai berikut:
  1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.
  2. Ikut serta dalam proses memlih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
  3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
  4. Mendapat penerjemah.
  5. Bebas dari pertanyaan menjerat.
  6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
  7. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan.
  8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
  9. Mendapat identitas baru.
  10. Mendapat tempat kediaman baru.
  11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
  12. Mendapat nasehat hukum.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan, bahwa hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimaksudkan diberikan untuk/dalam kasus-kasus tertentu sesuai keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan korban.
           
  1. Kewajiban Korban
Selain hak, korban juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:
  1. Tidak main hakim sendiri
  2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan dan korban lebih banyak lagi
  3. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri atau oleh orang lain
  4. Ikut serta membina pembuat korban
  5. Bersedia di bina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
  6. Tidak menuntuk kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan I pembuat korban
  7. Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya.
  8. Menjadi saksi apabila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.
C.                Peran korban

Dengan menjadi korban tidak semata-mata selesai perkara. Dalam arti korban juga mempunyai peran penting dalam hal ini. Dengan demikian jelaslah bahwa korban mempunyai peranan penting dalam hal timbulnya suatu kejahatan.
Sahetapy menyatakan, bahwa masalah kasus kejahatan merupakan masalah yang menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Salah satu kendala atau hambatan itu adalah prilaku individu atau sekelompok individu yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik norma yang tidak tertulis seperti norma kesusilaan, kwsopanan, adat istiadat, agama maupun dalam konteks ini terutama norma hukum pidana yang sifatnya tertulis yang oleh masyarakat disebut sebagai kejahatan.[5]
            Korban tidak hanya merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas, akan tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran material yang di kehendaki hukum pidana materiel. Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar atupun tidak sadar, secara langsung atupun tidak langsung.[6]
            Dengan demikian jelaslah, bahwa korban juga mempunyai peranan penting dalam timbulnya suatu kejahatan.  Peran korban dalam mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat berupa pertisipasi aktif maupun pasif, dapat berperan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut terjadi. Situasi dan kondisi pihak korban dapat mendorong pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap korban. Situasi tersebut bisa berupa:
  1. Fisik korban yang lemah serta mental yang lemah pula.
  2. Situasi sosial pihak korban.

Pihak korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya kejahatan memainkan berbagai macam peranan yang dibatasi situasi dan kondisi tertentu. Dalam kenyataan, tidak mudah membedakan secara tajam setiap peranan yang dimainkan pihak korban.
Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihal lorban. Pihak korban sendiri dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak berkemauan atau rela untuk menjadi korban.

D.                Pelayanan terhadap korban           
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 13 jelas di katakan bahwa untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
a.       Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian.
b.      Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbingan rohani.
c.       Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.      Memberikan perlindungan bagi pndamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Kesadaran untuk memberikan dukungan dan perlindungan pada korban kejahatan sedikit banyak telah ada pada berbagai negara di Eropa. Beragam upaya penanganan kasus kejahatan yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana setempat telah menuju pada proses yang menempatkan korban kejahatan sebagai perhatian utama. Hal ini semakindibuktikan dengan adanya agen-agen resmi yang ssecara khusus bertugas memberikan support dan assistance pada para korban kejahatan, seperti halnya Victim Supporrt.
            Pemberian dukungan terhadap korban memiliki beberapa dimensi yang terdiri dari penyedia jasa atau layanan (service), Advokasi, masyarakat dan antar lembaga kerja.
Dalam KUHP yang baru di tentukan adanya pelayanan ganti rugi. Dalam rangka pelaksanannya yang mantap diperlukan adanya dasar-dasar pemikiran yang mendukung pelayanan terhadap para korban kejahatan.
Pelayanan terhadap korban kejahtan pada hakekatnya merupakan pula suatu usaha kesejahteraan sosial yang pelaksanaannya harus sebanyak mungkin diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Semangat gotong-royong, kesediaan untuk berkorban, berzakat fitrah di masyarakat kita sebetulnya jika di kembangkan dan diamalkan dapat pula merupakan faktor pendukung dilayaninya para korban kejahatan.
            Pelayanan pada dasarnya dilakukan oleh para pekerja sosial dan orientasinya kepada pekerja sosial. Pelayanan ini tidak boleh dibatasi oleh kriteria ras, jenis kelamin, umur, macam kejahatan misalnya, tetapi harus lebih didasarkan pada sifat dan beratnya penderitaan, kerugian.
            Salah satu tahap pemberi layanan pada korban adalah tahap konseptualisasi, yang meliputi masalah perumusan permasalahan, pembahasan mengenai keperluan-keperluan dan pandangan umum mengenai apa yang harus di kerjakan untuk memperbaiki permasalahan korban.
            Kebanyakan macam program pelayanan korban ini di golongkan menurut organisasi pemrakarsanya, seperti kepolisian, kejaksaan dan lain-lain. Ada yang bebas, tanpa organisasi, memberikan bantuan secara informal atas dasar Ad hoc,  untuk suatu peristiwa tertentu oleh mereka yang sudah mempunyai jabatan resmi dalam suatu sistem peradilan pidana.
            Pelayanan sukarela untuk korban kejahatan adalah suatu fenomena yang unik, karena keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana dan kliennya yaitu pihak korban, sehingga saat ini diabaikan. Perbedaan utama dengan tenaga sukarela lainnya, adalah bahwa tidak diterimanya bayaran oleh para tenaga sukarela dalam melaksanakan tugasnya memberikan peayanan terhadap korban kejahatan.
           


BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan dan Saran
  1. Kesimpulan
a.       Hak-hak korban serta kewajiban korban kejahatan sudah di berikan dan di atur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Selain hak, korban juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi seperti tidak main hakim sendiri, membina pembuat korban, tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dan lain lain. Kemudian perannya korban disini sangat penting dimana korban berperan aktif maupun pasif dalam hal terjadinya kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional, serta kondisi korban yang terlalu menonjol yang mana merangsang para pihak untuk melakukan kejahatan dan yang terakhr adalah lemahnya fisik serta mental dari pada korban itu sendiri.
b.      Pelayanan terhadap korban kejahatan itu antara lain telah dilakukan di negara negara maju. Pelayanan korban dilakukan oleh para pekerja sosial, serta pemberian dukungan kepada para korban. Selain itu telah ditentukan dalam KUHAP bahwa adanya pelayanan ganti rugi.

  1. Saran
a.       Setiap individu seharusnya menghargai hak-hak para masyarakat lain dan masyarakat lain juga harus melaksanakan kewajiban yang sudah di tentukan agar tidak adanya saling melanggar hak asasi masing masing.
Selain itu para korban harus sadar akan lingkungan sekitar yang mana rawan akan kejahatan yang sering terjadi. Seharusnya para korban mengantisipasi hal hal yang tidak di inginkan, dan tidak melakukan tindakan yang mendorong orang lain untuk membuat kita menjadi korban.
b.      Pelayanan terhadap para korban kejahatan harus di tingkatkan lagi, agar para korban selalu merasa tenang ketika selesai mengalami musibah. Dan sarana prasarana pelayanan publik harus di perbaiki agar lebih memadai lagi.






[1] H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi, (Lentera Hukum indonesia, Jakarta: 2014) hlm. 21-22. (buku I)
[2] Ibid,  
[3] H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi, (Lentera Hukum Indonesia: Jakarta, 2014), hlm. 27 (buku II)
[4] Op.cit, hlm 32.
[5] H Edy Tarsono, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi, (Lentera hukum Indonesia, jakarta, 2014) hlm 33. (buku I)
[6] Ibid, hlm, 34. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar